Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Spesies Pencari Takjil yang Kehilangan Habitatnya


“Monyet-monyet itu nggak gigit kok, Mas.” Ucap salah satu warga lokal bernama Mas Topo yang terdengar sangat mengerti daerah itu. “Tenang aja” Lanjutnya.

Terlihat segerombolan monyet yang sedang mencari sekaligus mencuri makan di ladang para petani lokal. Saya awalnya keheranan, di sebuah tempat yang hanya berjarak satu setengah jam dari hingar bingar kota Jogja, masih ada segerombolan monyet liar yang tak bertuan.

Monyet-monyet tersebut tampak riang gembira, bergelantungan ke sana ke mari tanpa peduli akan perhatian manusia yang menganggap mereka adalah makhluk yang buruk rupa. “Kenapa mereka dibiarkan ke sini dan mencuri buah-buahan di ladang warga, Mas?” Tanyaku ke Mas Topo.

“La gimana mas, warga juga susah ngusirnya. Wong sebetulnya monyet-monyet ini itu tinggal di Suaka Marga Satwa sana, lho.” Mas Topo menunjuk ke arah utara. “Tapi di sana malah ditanami jati. Nggak ada pohon buah sama sekali, ya otomatis mereka ke sini.” Terang Mas Topo.

“Iya juga sih, Mas. Kasihan sekali monyet-monyet itu. Mereka harus keluar dari habitatnya, mengorbankan nyawa demi sesuap makanan. Kok saya sedih, ya” Ucapku menanggapi jawaban Mas Topo.

“Ah, biasa aja, Mas” sahut Mas Topo. Ia cekikikan sembari melirik saya yang kelewatan berlebihan.

Biarpun Mas Topo tidak bersedih, saya tetap tak bergeming. Saya terus meratapi nasib monyet-monyet jelata yang terpaksa harus memakan buah curian demi perut mungil mereka yang kelaparan. Saya membayangkan kalau mereka tidak keluar hutan (yang sudah ditanami pohon jati itu), mereka mungkin akan memakan daun jati yang berjatuhan.

Adegan ratapan itu bisa terbayang jelas di benak saya, dengan sayup-sayup lagu Kumenangisnya Rossa. Hiks.

Bayangan kesedihan itu saya biarkan membekas dengan berharap suatu saat akan terlupa dengan sendirinya.

Sementara itu, di bulan puasa saya punya agenda rutinan yang cukup mengasyikkan. Saya dan kawan punya kebiasaan yang menjadi identitas kami. Para pencari takjil. Ya, kami selalu melakukan kegiatan tahunan dengan mencari masjid-masjid yang mampu menanggung kebutuhan pangan kami. Termasuk bulan puasa tahun ini.

Bagi kami, masjid adalah solusi atas kebutuhan primer yang harus terpenuhi. Ketika menjelang berbuka puasa, kami selalu hadir dengan wajah sumringah menyambut datangnya waktu untuk makan. Bertumpuk-tumpuk nasi kotak sudah tampak sedap untuk disantap. Kami tidak pernah kecewa dengan masjid.

Itu dulu. Tahun kemarin, kami sama sekali tidak dapat meneruskan tradisi ini akibat pandemi. Tahun ini kami berharap banyak. Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Kemarin, dengan semangat saya kembali melakukan rutinitas yang sempat vakum satu tahun. Namun, tampaknya masjid yang biasa kami datangi, tidak tertarik lagi untuk berperan dalam mencukupi kebutuhan primer golongan kami.

Bermenit-menit waktu kami habiskan untuk menunggu kepastian dari takmir, tentang ada atau tidaknya kebutuhan primer kami. Langkah optimis kian lama kian dikuasai oleh perasaan pesimis. Ditunggu lama, tapi tidak ada jawaban. Sinyal itu sepertinya mengisyaratkan kalau tahun ini, tidak akan ada takjil gratis lagi. Arggghhhhhh.

Saya dan gerombolan spesies saya masih tidak gentar. Mencari dan berusaha untuk dapat makanan di habitat kami sendiri adalah usaha yang seharusnya tidak boleh kami sudahi. Kami tetap mencari ke beberapa masjid yang juga menyediakan sejumput takjil gratisan. Hasilnya tetap saja sama. Nihil.

Ramadhan sepertinya akan terasa tidak semenyenangkan dulu. Kalau begini terus, spesies kami akan punah secara perlahan. Sedikit demi sedikit, mereka menghilangkan sumber makanan, dan kemudian berakibat pada hilangnya identitas dan jati diri. Alhasil, golongan kami terpaksa harus bertransformasi menjadi mas-mas biasa yang mengeluarkan uang saat menjelang maghrib untuk membeli pisang ijo dan kolak gula merah.

Saya mulai memikirkan eksistensi dan identitas pencari takjil. Di satu sisi, saya benar-benar ingin mempertahankan identitas kami, tapi di sisi lain perjuangan itu akan sangat berat. Sebuah kelompok tidak akan bisa berjalan langgeng tanpa adanya kecukupan atas kebutuhan pokok mereka, terutama makanan.

Saya sedih sekaligus kasihan.

Rasa sedih dan kasihan itu terasa sama persis seperti saat saya mengasihani monyet-monyet yang kesulitan mencari makanan bertahun-tahun lalu. Bedanya, tidak ada Mas Topo yang tertawa karena jiwa mellow saya.

Apakah kami dan monyet ditakdirkan untuk memiliki nasib yang sama? Pertanyaan ini sempat terbesit sementara di benak saya, saat sedang mengingat peristiwa pilu yang dialami oleh monyet-monyet yang tak bertuan itu. Masa iya kami sama? Otak saya sebagian besar setuju, tapi sebagian lainnya tetap menolak.

Tidak, kami berbeda. Kami tidak menyelesaikan masalah kami dengan mencuri makanannya orang lain. Kami memilih solusi yang lebih manusiawi. Lagipula, mana ada monyet yang puasa?

 


Posting Komentar untuk "Spesies Pencari Takjil yang Kehilangan Habitatnya"