Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Kota Pelajar, Jogja adalah Kota Wisatawan yang Sekalian Belajar

Eksistensi Jogja sebagai kota pelajar kian mengkhawatirkan. Meskipun masih ada orang-orang yang benar-benar belajar di Jogja, tapi jumlahnya tidak banyak. Setidaknya, tidak sebanyak wisatawan. Tidak salah memang, keduanya juga tidak perlu dipertarungkan tapi, saya yakin, salah satunya pasti ada yang terkalahkan.

Keyakinan itu tentu berangkat dari perasaan yang pesimis. Karena kalau optimis, sebuah tragedi tidak akan menarik untuk disaksikan. Dan betul, saya sedang pesimis.

Saya datang ke Jogja baru sekitar tujuh tahun yang lalu, alasan saya datang ke Jogja adalah murni karena branding Jogja sebagai kota pelajar. Persetan kalau Jogja adalah kota yang banyak wisatanya. Dulu, saya lebih suka kuliah ketimbang jalan-jalan.

Saya menikmati hidup di Jogja, toko buku ada di mana-mana. Berbeda dengan keadaan di daerah saya yang letaknya berada di ujung utara pulau Jawa itu.

Kalau mau nyari buku jadi gampang. Gak perlu cari jauh-jauh, tidak perlu pesan kepada orang yang sedang “ngelencer” ke luar kota. Itu enaknya tinggal di Jogja kalau berstatus sebagai pelajar.

Meskipun begitu, julukan Jogja sebagai kota pelajar kini nampaknya belum memuaskan banyak pihak. Maka dari itu, Jogja (sejak dulu sampai sekarang) tidak pernah berhenti untuk menjadikan diri mereka sebagai kota utama tujuan para wisatawan.

Salah satu cara saya untuk memperhatikan perilaku dan sudut pandang orang asli Jogja adalah dengan membaca dan mengamati Grup Facbook Info Cegatan Jogja (ICJ).

Grup itu meskipun juga banyak berisi orang-orang luar Jogja, tapi sebagian besar anggota yang vokal adalah orang-orang asli Jogja. Hal itu bisa dibuktikan ketika ada salah satu postingan yang mempertanyakan adanya pagar di Alun-Alun Utara, sebagian besar komentarnya adalah “KTP-mu ngendi, Mas?”

Khas sekali dengan bahasa orang asli Jogja.

ICJ, sebagai Grup Facebook paling fenomenal di Jogja seringkali mengungkapkan tentang praktik-praktik kecurangan yang dialami oleh wisatawan di Jogja. Mulai dari beli makan dikasih harga yang gak masuk akal, hingga yang terakhir ditipu oleh tukang becak.

Saya mencoba mengamati sikap orang-orang Jogja ini. Mereka sebagian besar menyayangkan perilaku oknum yang mencoreng nama baik pariwisata Jogja tersebut. Hampir sebagian besar menyayangkan, dan hampir sebagian besar juga takut wisata Jogja jadi tercoreng.

Itu satu. Sebelumnya, juga sempat terjadi, pada akhir tahun lalu. Ketika Jogja tengah digemparkan dengan aksi klitih yang menjengkelkan. Orang-orang di Twitter kompak meramaikan sebuah tagar #YogyaTidakAman.

Merespons hal itu, muncul sebuah twit yang mendadak viral akibat pembelaan seorang pemuda terhadap tanah kelahirannya. Ia kesal karena Jogja dianggap sebagai kota yang tidak aman. Padahal menurut dia, Jogja aman.

Yang membuat saya sedikit gusar adalah keresahan pemuda itu berpangkal pada ketakutan bahwa tagar itu akan mencoreng industri pariwisata Jogja. Begitu besarnya antusias orang-orang di Jogja tentang pariwisata.

Tentu itu bukanlah hal yang buruk. Anda pasti semua setuju. Dampak baiknya juga lebih banyak, terutama ekonomi.

Namun, ini tetap isu yang menurut saya cukup mengkawatirkan. Ekspektasi saya tentang Jogja adalah bahwa Jogja kota pelajar. Kota yang memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan adalah nomor satu yang lain nomor dua.

Namun, kenyataan memperlihatkan fakta yang justru membuat saya berkaca-kaca. Pembangunan besar-besaran pada sektor pariwisata Jogja menyisakan sebuah kenyataan lain yang justru mencabik-cabik ekspektasi awal saya.

Salah satu toko buku terbesar di Jogja menyediakan tampilan visual dan pengalaman yang membuat para pecinta buku harus mengernyitkan dahi. Toko buku sebagai sebuah tempat yang seharusnya ramai oleh pelajar terpaksa melakukan penyesuaian supaya tetap bisa bertahan.

Mereka kini tidak lagi hanya menjual buku. Tapi juga beras, bawang merah bawang putih, melon, hingga pisang kepok. Bahan makanan tersebut berjejer rapi bersanding dengan buku-buku akademik yang seharusnya disantap oleh para pelajar.

Ke mana perginya para pelajar itu? Saya khawatir, lama kelamaan toko buku di Jogja perlahan akan memusnahkan dirinya masing-masing. Harapan mereka bisa meraup untung dari menjual sumber ilmu bisa musnah karena orang-orang yang berilmu itu telah memilih jalan yang berbeda.

Saya tidak menyalahkan mereka yang lebih memilih berwisata ketimbang beli buku. Saya juga suka wisata. Saya juga tidak menyalahkan siapapun. Ini hanya bentuk pesimisme saya. Saya yakin Anda juga pesimis.

Meskipun (mungkin) sampai kapanpun Jogja akan jadi kota pelajar. Namun, saya takut para pejalar di Jogja datang ke Jogja bukan karena ingin belajar, akan tetapi ingin jalan-jalan sekalian belajar.

Posting Komentar untuk "Bukan Kota Pelajar, Jogja adalah Kota Wisatawan yang Sekalian Belajar"