Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gembar-gembor Reformasi Digital, Milenial Senang, Pegawai Meradang

Pixabay

Kalau dihitung, sepanjang saya hidup, sudah puluhan kali bolak-balik ke kantor instansi pemerintahan untuk ngurus ini dan itu. Mulai dari buat KTP, perpanjang, ngurus akta kelahiran, SIM, dan lain sebagainya. Sudah ribuan kilo meter lebih bensin yang keluar hanya untuk riwa-riwi.

Ironisnya, di negara tercinta ini, satu urusan tidak akan pernah selesai dalam satu waktu. Satu keperluan bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Konsekuensinya, saya harus pulang ke rumah dan kembali lagi ke kantor yang sama setiap hari hanya untuk satu dokumen.

Ini tidak terjadi satu kali. Ini terjadi berkali-kali. Padahal, reformasi digital katanya sudah ingin diterapkan. Mereka yang duduk di atas sana bilang kalau semua pelayanan publik akan lebih cepat selesai dan tidak lagi membutuhkan waktu yang lama.

Tapi, kok, sampai sekarang masih gini-gini saja? Saya dan banyak orang lainnya tentu berharap bahwa gembar-gembor itu benar-benar terealisasi. Bukan hanya omong kosong dan basa-basi semata.

Jika benar reformasi digital itu akan dilakukan, jika benar masyarakat akan mendapatkan pelayanan publik dengan lebih mudah, dan semua data bisa diakses dengan digital, maka hal itu akan memudahkan pemerintah untuk membocorkan data ke Bjorka memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Tapi, masalahnya bukanlah pada kebijakan yang tidak keluar. Masalah terbesar kita adalah seorang pegawai yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan teknologi. Mereka yang sudah terlanjur mendapatkan gaji tiap bulan tetapi tidak mengerti cara menginstall aplikasi, itulah masalah kita semua.

Data menunjukkan bahwa di salah satu daerah di Indonesia masih memiliki ASN/PNS yang gagap teknologi. Perkara untuk ngisi data diri sendiri ke website saja masih gelapan. Bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang cepat ini?

Beberapa waktu yang lalu saya berurusan dengan pegawai yang mempunyai wewenang untuk memberikan acc terkait penyerahan tugas akhir di kampus. Kampus saya sudah menerapkan sistem online. Jadi semua birokrasi dan administrasi untuk mendaftar wisuda dilakukan melalui website. Tidak ada lagi fotokopi-fotokopian.

Kebijakan yang sangat bagus, gumam saya. Akan tetapi dalam perjalanan, saya menemui seorang bapak-bapak tua yang sangat gagap dengan hal ini. Dia masih kekeh meminta fotokopian berkas saya. Saya menolak dan menjelaskannya berulang kali dengan nada yang sangat sabar.

Dia tetap tidak mengerti. Entah tidak mengerti maksud saya, atau tidak mengerti bagaimana cara mengoperasikan komputernya. Bahkan, bapak itu mengancam tidak akan melayani saya jika saya tidak mencetaknya. Saya yakin saya benar, tapi dia yang menang. Saya mengalah. Lalu keluar dan mencetaknya.

Pixabay

Ini membuktikan bahwa reformasi digital itu tidak bisa hanya menjadi slogan dan gembar-gembor semata. Reformasi digital tidak cukup hanya memperbaiki infrastruktur teknologi tanpa peduli dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki.

Saya yakin dan mengerti betapa susahnya mengajari bapak-bapak kumis tebal dengan perut besar di usia sekitar 50 sampai 60 tahunan. Akan sangat sulit mengajarkan mereka bagaimana cara menginput data ke komputer.

Namun, itu adalah bagian dari konsekuensi atas sebuah kebijakan. Jika sebuah instansi tidak bisa mengajari mereka. Yang harus dilakukan adalah menyingkirkannya dan menggantinya dengan yang baru. Memang terdengar jahat, tapi harus dilakukan, jika tidak ingin tertinggal.

Masih banyak pemuda melek teknologi yang mengantre dan siap untuk menggantikan bapak-bapak tua yang tidak mengerti cara mengoperasikan komputer. Bekal teknologi mereka sudah sangat banyak. Jadi, apa alasannya masih mempertahankannya?

Anak muda sekarang sudah sangat modern. Otaknya sudah sangat cepat untuk diajak lari dan beradaptasi dengan modernisasi. Apalagi perihal teknologi. Mereka tidak peduli dengan orang tua menganggap bahwa hidup instan itu tidak baik.

Hidup instan itu baik. Hidup cepat itu harus. Tidak ada alasan untuk menunggu sebuah proses. Kalau saya mengutip kalimat dari pandit termasyhur di Indonesia, Coach Justin “Proses itu harus dibarengi dengan progres,” tanpa progres, proses tidak akan pernah ada artinya.  Sekarang milenial sudah sangat sulit untuk percaya proses. Hanya Arsenal yang percaya.

Pungkasnya, sebuah reformasi digital itu memang baik dan wajib menjadi fokus utama pemerintah dewasa ini. Alih-alih hanya membangun infrastruktur dan pidato berapi-api tentang digitalisasi, pemerintah harus lebih peduli dengan pegawai-pegawai yang masih belum mengerti cara menginstall aplikasi.

Posting Komentar untuk " Gembar-gembor Reformasi Digital, Milenial Senang, Pegawai Meradang"