Kerabat Pejabat dan Naiknya Derajat Sosial
Pixabay |
Kalau dengan punya
kerabat seorang aparat atau pejabat negara bisa menjamin keamanan, kenyamanan,
dan karir buat apa kita teriak-teriak revolusi mental?
Sudah lama memang, tapi
ini sangat membekas buat saya. Seorang pria muda ribut dengan petugas karena
terkena razia masker. Berbeda dengan video-video keributan pada umumnya,
petugas dan pria muda tersebut justru malah berdebat dengan membawa-bawa urusan
keluarga.
Pria muda yang sudah
mengakui kesalahannya dan meminta maaf tersebut mengaku memiliki saudara
seorang jenderal bintang dua. Tampak sekali ia ingin memperlihatkan kekuatannya
demi menandingi petugas yang sedang menertibkan pelanggaran di jalanan.
Kejadian itu bukanlah
kali pertama ada anak muda yang ngaku punya kerabat aparat saat terciduk
melanggar hukum. Dulu juga sempat viral seorang perempuan yang mengaku anak
jenderal hanya karena ditilang polisi di jalan. Terlepas dari benar atau tidak,
tindakan semacam itu tentu membuat banyak orang terkejut.
Ketika orang-orang
sekarang banyak yang teriak revolusi dalam rangka memperbaiki sistem dan
mental, anak-anak muda ini justru terjerembap dalam mental yang tidak patut
untuk dilestarikan. Mereka terjebak dalam mental masa lalu. Apa mereka pikir
dengan pangkat sang kerabat akan menaikkan derajat mereka di mata masyarakat?
Sejarah mencatat bahwa
dahulu ABRI memang sangat dominan. Bahkan disebutkan kalau kekuasaan Presiden
Soeharto sepenuhnya dikuatkan dengan dukungan militer. Pemerintahan saja
dikontrol, apalagi masyarakat. Begitulah kiranya.
Masyarakat sangat segan
dan sangat menaruh hormat dengan ABRI. Bahkan sebagian besar orang tua (dulu)
menginginkan anak laki-lakinya untuk berprofesi sebagai tentara. Saking
hormatnya.
Sebetulnya, meningkatnya
derajat sosial karena berkeluarga dengan pejabat tidak hanya berlaku bagi
kerabat aparat saja. Punya keluarga yang bekerja di pemerintahan pun dapat
dipakai modal untuk masuk dan bekerja di tempat yang sama. Inilah yang kerap
disebut-sebut sebagai kekuatan orang dalam.
Mental-mental seperti
inilah yang seharusnya ikut lenyap sejak reformasi 1998. Revolusi tersebut
tentu tidak hanya menginginkan perubahan di sistem pemerintahan, akan tetapi
juga berharap perlahan mengubah pola pikir masyarakat atas mental-mental Orde
Baru.
Saya bahkan beberapa
kali menemukan pemandangan yang sangat menyedihkan ini. Beberapa kali ketika
tengah berbicang-bincang dengan rekan sejawat atau orang yang usianya lebih
senior, saya sering tertegun atas pernyataan-pernyataan yang sangat mewakili
kasus ini.
Salah satu lawan bicara
saya yang sudah cukup berumur kerap bercerita tentang kejadian-kejadian masa
lampau yang dialaminya. Terutama dalam memenangkan konflik kecil yang terjadi
antar masyarakat. Secara runtut dia menceritakan proses memenangkan konflik.
Salah satu cara yang sering sekali terucap adalah dengan mengaku kenal dengan
menyebutkan nama salah satu aparat yang disegani di tempat tersebut.
Namun, saya masih bisa
memaklumi kalau sang penutur adalah seorang pria paruh baya yang memang
dibesarkan di era-era itu. Pemakluman saya mungkin tidak akan muncul ketika
keangkuhan tersebut diucapkan oleh rekan sejawat yang lahir di tahun yang sama
dan besar di era yang sama dengan saya: era reformasi.
Saat ini adalah masa di
mana negara sangat ingin membenahi diri. Berbenah dari sistem yang mempersulit
masyarakat, dari kejahatan korupsi yang merugikan, dan dari mental-mental
nepotis yang sudah tidak lagi relevan.
Kalau mental-mental
seperti itu tidak segera dihanguskan, saya khawatir akan menjadi masalah yang
lebih memprihatinkan. Kalau dengan mengaku punya kerabat aparat mampu
menyelamatkan seseorang dari denda tilang, maka tidak terbayang berapa banyak
orang tua yang akan merebutkan polisi atau tentara sebagai menantunya.
Saya yakin masyarakat
kita sekarang ini sudah cerdas-cerdas. Perlahan tapi pasti, orang-orang di
media sosial juga sudah paham mana yang seharusnya mereka bela dan mana yang
seharusnya mereka caci maki.
Kabar baiknya, kini
kekuatan masyarakat sudah mulai dipertimbangkan. Lewat media sosial, masyarakat
biasa sekarang bisa memenangkan sebuah perseteruan dengan pejabat atau orang
yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi ketimbang dia. Berbeda dengan dulu,
orang biasa tidak memiliki kekuatan apapun.
Lantas, buat apa kita
masih mengandalkan paman atau saudara kita yang berprofesi sebagai aparat saat
kita ditilang polisi? Mengaku punya keluarga pejabat tidak akan membuat derajat
sosial Anda meningkat, atau bahkan menang dalam perseteruan.
Kecuali, Andalah
pejabatnya.
Posting Komentar untuk "Kerabat Pejabat dan Naiknya Derajat Sosial"
Beri saran