Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Selebrasi Pacaran yang Paling Mengerikan adalah Pernikahan


Menikah itu bukanlah buah dari sebuah proses pacaran. Hidup menua bersama pacar bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan secara paripurna. Bagi saya, seorang yang masih belum berani menikah, pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan yang jauh berbeda dengan pacaran.

Semakin hari, lingkup pertemanan saya semakin sempit. Satu demi satu teman mulai memilih untuk hidup langgeng dengan pasangannya masing-masing. Mereka semua tampak begitu bahagia ketika sedang berada di atas pelaminan. 

Persis seperti gambaran lagu-lagu pengantin baru yang isi liriknya mengatakan kalau mereka bak raja dan ratu. Saya hadir beberapa, tapi lebih banyak tidak. Bukan karena saya tak ingin memberikan kado, melainkan tidak ingin larut dalam momentum pernikahan dan lupa dengan jalan terjal yang harus saya lewati terlebih dahulu.

Saya belum ingin menikah. Tapi bayangan tentang pernikahan itu pasti ada. Hanya saja, tidak sekarang. Mungkin lusa, besok, atau nanti sajalah. Sejauh ini, saya masih berpikir bahwa pernikahan hanya sebuah selebrasi dari pacaran. Pernikahan hanya saya maknai sebagai garis finish dari proses pacaran. Padahal itu sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Saya belum bisa membayangkan diri saya ketika sudah selesai menikah. Sebagai seorang yang pandai sekali berkhayal, kehidupan tentang pernikahan yang bisa saya khayalkan rupanya cukup terbatas. Saya hanya bisa berkhayal menonton televisi dengan anak, makan bereng istri, dan (tentu) bersenggama.

Saya sama sekali belum bisa menemukan indahnya kehidupan setelah pernikahan. Tapi, saya sangat bisa mengkhayalkan kebahagiaan dari seorang pasangan yang duduk berdua di atas dekor pelaminan. Mereka berdua adalah orang yang sangat bangga dengan dirinya sendiri. Mereka berhasil mengarungi gelombang permasalahan ketika pacaran.

Tapi, menikah tentu bukan hanya persoalan seremonial saja.

Saya belum menikah dan tidak tahu banyak soal pernikahan. Namun, yang saya tahu, pernikahan itu sakral. Saking sakralnya, pernikahan idealnya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Kalau begitu, menikah perlu persiapan yang sangat matang. Bukan pelampiasan dari kekesalan (atas pertanyaan kapan menikah) atau hanya sekadar pembuktian kepada mantan pacar (bahwa kita sudah berhasil mendapatkan penggantinya).

Sepanjang ingatan yang bisa saya jangkau, saya menjumpai beberapa orang yang menikah dengan versinya masing-masing. Ada yang menikah hanya karena ingin sekali menjaga perempuannya dari kejaran pria-pria lain. Ada yang menikah karena desakan dari pasangan untuk segera dihalalkan. Ada juga yang menikah karena memang ingin menikah setelah sekalian lama pacaran.

Ketiga versi itu tentu memiliki proses dan dampak yang berbeda-beda. Versi pertama dan kedua bisa jadi bukan sepenuhnya kehendak kita sendiri sebagai orang yang akan menikah. Tapi versi ketiga cukup ideal. Setidaknya dari pengamatan saya.

Sebagai penikmat karya Raditya Dika, dia pernah bilang kalau, jangan menikah hanya karena sudah saatnya menikah, tapi menikahlah ketika ingin. Itu terasa sangat ringan dan mudah diucapkan. Tapi, sebetulnya begitulah seharusnya seorang pria atau wanita ketika memutuskan untuk menikah.

Dari sekian panjang kalimat yang saya tulis, nampak sekali kalau saya adalah seorang yang pria yang takut dengan pernikahan. Iya betul, kalau pernikahan hanya dimaknai sebagai garis finish dari estafet sebuah pacaran. Pernikahan adalah pernikahan, pernikahan sepertinya punya arti yang jauh berbeda dari hanya sekadar pacaran.

Puthut Ea pernah menuliskan di dalam bukunya bahwa, tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Cinta, ya, cinta. Menikah, ya, menikah. hanya orang yang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah. Artinya bisa saja kita menikah dengan orang yang tidak dicintai, tapi tetap bahagia. Ah, saya ndak begitu ngerti, tapi setidaknya itulah yang saya tangkap dari kalimat Mas Puthut.

Saya jadi kepikiran lirik lagu Mendung Tanpo Udan. Baca koran sarungan dan belanja dasteran mungkin adalah gambaran nyata kehidupan setelah pernikahan. Sarungan dan dasteran adalah wajah baru ketika kita memutuskan untuk menikah. Berbeda jauh dengan ketika pacaran yang lebih sering pakai celana jeans dan gamisan.

Pungkasnya, perjalanan dari sebuah pernikahan itu sangat panjang. Maka sangat tidak elok kalau orang tidak memiliki alasan yang kuat untuk menikah. Menikah itu membangun sebuah hubungan. Hubungan antar individu maupun keluarga. Hubungan itu bisa kita bangun dengan orang lama, atau dengan siapapun yang baru. Menikah itu awal dari sebuah hubungan, bukan tujuan akhir dari sebuah proses pacaran.


Posting Komentar untuk "Selebrasi Pacaran yang Paling Mengerikan adalah Pernikahan"