Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adu Mulut Pejuang Sekolah Luring

Isu ini mungkin sudah lewat, tapi, masih cukup menarik untuk dibahas.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkenalan dengan seorang guru SMP dari sekolah lain. Hampir semua guru yang saya kenal mengeluhkan betapa tidak efektifnya pembelajaran daring. 

Tapi kali ini berbeda. Guru yang baru saja saya kenal ini mengeluarkan kalimat yang mengandung makna keresahan yang cukup mewakili sambatan para guru lainnya.

Dia hanya bilang kalau di sekolahnya tidak lama lagi akan ada pemilihan Osis. 

Seluruh calonnya datang dari anak kelas tujuh dan delapan, dan diajukan oleh guru. Ironisnya, guru sama sekali belum mengenal dekat siapa saja yang akan dicalonkan. 

Sesekali memang pernah bertemu, tapi tidak benar-benar mengenal karakter dan kebiasaan anak-anak tersebut.

Tentu ini memprihatinkan. Pasalnya, bagi seorang guru, mengenal murid adalah salah satu kewajiban yang perlu untuk ditunaikan. 

Guru tidak akan bisa memantau perkembangan murid kalau tidak mengenal mereka dengan baik. Dan sekolah daring telah menghalangi itu semua.

Meskipun demikian, kini di beberapa sekolah telah melaksanakan pembelajaran tatap muka. Meskipun di tempat saya mengajar masih belum mendapatkan imbauan, tapi saya cukup senang dengan angin segar yang baru saja saya hirup ini.

Pembelajaran tatap muka yang diidam-idamkan oleh semua guru semoga benar-benar bisa terlaksana di semua sekolah tanpa terkecuali. 

Namun, kebijakan baik tidak mungkin lahir tanpa mengikutsertakan kelompok oposisinya. Rupanya masih banyak orang yang tidak menginginkan sekolah tatap muka dilaksanakan. Mereka semua cukup terlihat di media sosial.

Kelompok ini berargumen kalau sekolah daring akan menimbulkan kluster baru. Itu dianggap sangat membahayakan.

Pernyataan itu sebetulnya bisa dibenarkan juga. Pasalnya, kita semua tidak bisa memastikan tidak ada penularan di sekolah. 

Tapi apakah itu bisa dipakai alasan untuk tetap membiarkan pertemuan sekolah dilakukan secara daring? Tentu saja tidak!

Kluster baru itu pasti. Namun, yang perlu diantisipasi sebetulnya bukan klusternya, tapi penangannya.

Saya tidak bisa menutup diri dengan apa yang saya lihat di lingkungan terdekat saya. Masih banyak orang-orang yang gemar bercipika-cipiki. 

Masih banyak orang yang tidak mau memakai masker di tempat umum. Masih banyak pula orang yang tidak mau divaksin dengan alasan yang sama sekali ndak masuk akal.

Fenomena itu terjadi di mana saja, baik di tempat wisata maupun di sekolahan. Masalah ini lah yang sesegera mungkin harus diperbaiki. 

Penambahan kluster baru bukan hanya terjadi karena ada sebuah perkumpulan atau hajatan. Tapi lebih spesifik dari itu, penambahan kluster baru terjadi karena abainya saya dan Anda terhadap protokol kesehatan.

Mungkin inilah yang ditakuti oleh orang-orang yang tidak setuju adanya pembelajaran tatap muka. Mereka sangat takut dengan penularan. 

Saya tidak bisa menyalahkan orang-orang ini. Mereka tidak salah, dan argumennya bisa dibenarkan. Mereka juga tengah memperjuangkan kebenaran.

Namun, tidak seperti matematika, tidak ada kebenaran yang tunggal. Seorang yang menolak pembelajaran tatap muka dengan alasan mencegah kluster adalah benar. 

Demikian juga dengan orang-orang yang menginginkan pembelajaran tatap muka segera dilaksanakan, juga tidak bisa disalahkan. Keduanya sama-sama bisa dibenarkan dengan argumennya masing-masing.

Posting Komentar untuk "Adu Mulut Pejuang Sekolah Luring"