Tidak Usah Diperbaiki, Trotoar Yogya Lebih Baik Dipakai untuk Jualan Pecel Lele Lamongan!
Saya senang berjalan kaki di Yogya. Sebagai orang yang tidak sering berjalan kaki, saya kerap sekali merasa kesal dengan trotoar yang dari dulu sampai sekarang masih begitu-begitu saja.
Berbeda jauh dengan fasilitas publik di tempat wisata. Di jalan-jalan yang tidak ada wisatawannya, trotoar Yogya cukup membuat dongkol.
Meskipun begitu, sebagaimana akhir tahun pada umumnya, pemerasan anggaran selalu dilakukan.
Tahun ini pun demikian. Jalan-jalan mulai diperbaiki, dan trotoar juga ada beberapa yang sudah dipugar.
Mungkin pemerintah
sudah mulai memperhatikan bahwa pejalan kaki di Yogya yang gak seberapa ini
juga harus mendapatkan fasilitas yang layak. Mungkin.
Tentu ini adalah kabar yang cukup menyenangkan bagi para pejalan kaki di Yogya. Meskipun demikian, berita gembira selalu hadir berdampingan dengan berita tidak menyenangkan.
Bad news-nya, saya khawatir ini
akan mengganggu eksistensi pecel lele Lamongan di Yogya.
Selama ini, pecel lele Lamongan memang masih banyak yang menggunakan trotoar sebagai tempat untuk berjualan.
Beda level dengan nasi
padang yang lebih memilih untuk menyewa atau membangun sebuah resto yang lebih
nyaman.
Pecel lele tetap lesehan, mereka dari dulu sampai sekarang
masih khas dengan tradisinya. Sebuah tenda kain berwarna putih ditambah dengan
gambar-gambar hewan yang menjadi menu andalan warung tersebut. Sama sekali
tidak berubah.
Meskipun saya benci dengan trotoar yang gak karuan, tapi saya juga ingin saudara-saudara Lamongan saya ini tetap eksis tanpa terganggu oleh aktivitas manusia mana pun.
Saya suka jalan kaki di trotoar yang bagus,
tapi saya tidak ingin kalau pecel lele Lamongan tergusur.
Perpaduan lele goreng renyah dengan sambal yang menyala-nyala itu masih ingin terus saya nikmati.
Apalagi ini bukan hanya
menyangkut persoalan perut saya, tapi juga saudara-saudara saya yang tengah
berjuang mencari eksistensi dan kekayaan.
Saya khawatir kalau semua trotoar benar-benar diperbaiki. Saudara-saudara saya tidak akan punya tempat lagi untuk mencari rezeki.
Saya takut mereka tidak
lagi bisa membeli Honda PCX keluaran terbaru. Anak-anak mereka tidak akan punya
kesempatan untuk beli Iphone 13 seperti teman-temannya. Miris.
Pecel lele adalah identitas bagi kami. Ibarat menyetir di tol, menjumpai warung pecel lele Lamongan di pinggir jalan bagi kami adalah rest area.
Tidak ada yang lebih membanggakan dari masyarakat Lamongan di luar
kota selain pecel lelenya.
Maka dari itu perbaikan trotoar adalah hal yang menyenangkan sekaligus menyedihkan.
Saya tidak berhasil menghitung berapa jumlah warung
lesehan Lamongan yang sudah berpindah tempat karena ini. Tapi yang pasti, sudah
cukup lumayan memakan korban.
Meskipun demikian, saya dan semua teman-teman Lamongan tidak boleh terlalu pesimis dengan pembangunan trotoar yang masif.
Cita-cita manusia
modern tentang kelayakan fasilitas bagi pejalan kaki saat ini saya kira masih
hanya berupa fantasi.
Lima atau bahkan sepuluh tahun ke depan, saya yakin trotoar masih akan begini-begini saja. Apalagi di Yogya. Yang penting trotoar Malioboro bagus, sisanya gak penting.
Ini tentu sangat menguntungkan buat kami. Meskipun
saya ingin ada perbaikan, tapi saya lebih memilih untuk berdoa supaya trotoar
tetap dibiarkan dan tidak dibangun dengan rapi.
Tiang-tiang listrik berdiri tegak yang menghalangi teman-teman difabel juga harus tetap dipertahankan.
Lumayan, dengan itu, kami
bisa mengaitkan tali untuk mendirikan tenda jualan pecel lele kami. Persetan
dengan orang yang jalan kaki.
Semoga pemerintah sependapat dengan saya. Membiarkan trotoar yang tak karuan supaya tetap tak karuan.
Tidak usah diperbaiki, biar saudara Lamongan saya tetap bisa berjualan dan menikmati kekayaan yang tak kunjung ada habisnya.
Posting Komentar untuk "Tidak Usah Diperbaiki, Trotoar Yogya Lebih Baik Dipakai untuk Jualan Pecel Lele Lamongan!"
Beri saran