Sulitnya Menerima Kenyataan kalau Ukuran L Sudah Jadi XL
Dari dulu, saya sama sekali tidak pernah kepikiran untuk memakai baju dengan ukuran XL. Buat saya, XL adalah ukuran untuk bapak-bapak berperut buncit.
Saya tentu bukan laki-laki jenis itu. Buncit sedikit, tapi tidak sebuncit bapak-bapak buncit.
Saya dan baju dengan ukuran L sudah lama jadi besti. Lama
sekali. Sejak saya menginjak usia remaja, ukuran baju saya sudah L. Ketika
kawan-kawan saya waktu itu masih berkutat di ukuran M. saya sudah pakai L.
Karena persahabatan sejak lama yang sudah saya jalin dengan baju ukuran L. Tentu ada perasaan tidak ingin pisah, dong.
Namun nahas, tahun
ini adalah tahun di mana saya harus mengakui kalau ukuran baju saya sudah naik.
Dari L menjadi XL. Sial.
Awalnya, saya tidak bisa menerima kenyataan ini. Saya beberapa kali masih ngeyel dengan membeli kaos dengan ukuran L.
Walhasil, ada
beberapa yang kesulitan masuk ke badan. Untuk memakainya, saya harus bersusah
payah.
Ini tentu menyulitkan saya. Di sisi lain, saya juga tidak terbiasa memakai kaos ketat. Selain karena tidak nyaman.
Kaos ketat akan semakin
memperlihatkan puting di dada, yang seharusnya tidak terlihat oleh khalayak
umum.
Sampai suatu ketika, saya sadar, dan saya harus menerima
bahwa pria dewasa dengan tinggi 169 cm, tapi memiliki berat badan 75 kg adalah
pengguna XL mutlak. Kenyataan itu tidak bisa diganggu gugat.
Penolakan saya atas kenyataan yang saya alami tentu harus
saya sikapi dengan bijak. Sekuat apapun otak menolak, kalau perut masih gemar
mengembangkan dirinya, saya masih akan tetap memakai XL.
Saya sama sekali belum memutuskan untuk menurunkan berat badan. Pasalnya, saya penganut madzab anti terhadap body shaming. Saya benci orang yang menilai orang lain dari fisiknya.
Orang gendut tidak melulu jelek.
Orang gendut bisa saja ganteng dan cantik. Ini hanya persoalan prespektif.
Hiks.
Liver saya mengatakan, tidak mengapa kalau saya nantinya
akan menjadi orang gendut. Tapi di sisi lain, saya tetap tidak ingin menaikkan ukuran
dari L menjadi XL.
Keputusan menerima penambahan ukuran baju tentu berbanding lurus dengan risiko yang harus dihadapi. Ini sama beratnya seperti keputusan meletakkan baju ke dalam daftar cucian.
Ada risiko yang harus ditanggung, yaitu
mencucinya.
Usut punya usut, ini bukan hanya soal malu menjadi pria
gendut. Tapi lebih daripada itu, saya lebih takut kalau beli baju harus
mengeluarkan uang yang lebih besar ketimbang pria dewasa lainnya. Rupanya ini
risikonya.
Bagaimana tidak, rata-rata baju dengan ukuran yang lebih
besar memang cenderung lebih mahal. selisihnya bisa sampai 20.000. Tentu ini
sangat menyusahkan saya sebagai anak kost.
Uang 20.000 bisa saya pakai buat beli Indomie Soto Lamongan enam
bungkus. Bisa buat beli mie ayam Afui dengan porsi jumbo. Kembaliannya, bisa buat
beli pangsit sama es teh.
Bagaimana bisa saya merelakan uang hingga 20.000 hanya untuk
menambah kain di baju yang saya beli. Sedangkan dengan nilai yang sama, saya
bisa makan sepuasnya di tempat-tempat yang saya sukai.
Saya tahu, masalah terbesar yang sama alami adalah
kebanyakan makan. Saya juga sadar, kalau saya makan terus, bisa-bisa ukuran
baju saya semakin bertambah, dari XL menjadi XXL.
Tentu ini bukanlah kabar baik dan juga bukan masa depan yang cerah. Dengan baju XL saja saya sudah kesulitan buat pup di kloset jongkok.
Apalagi ketika badan saya pemakai baju XXL. Tangan saya pasti akan sangat
kesulitan menjangkau tali sepatu. Tertekan sama perut. Ini akan menjadi bagian
paling menyebalkan dalam hidup.
Sekali lagi, ketakutan saya tentang menjadi pria gendut bukan karena saya menilai bahwa gendut itu jelek.
Saya iri saja ketika kemarin,
saya melihat orang-orang meneduh di depan Indomaret pada bisa duduk jongkok
sepuasnya, tanpa merasakan kesemutan di kaki.
Saya, baru saja jongkok, tidak sampai lima menit langsung
kesemutan. Saya yang baru pengguna XL saja sudah mengalami kesulitan yang
berlebih ketika meneduh saat hujan, apalagi nanti kalau jadi pengguna XXL.
Pasti lebih sulit lagi.
Saya tentu tidak ingin itu terjadi. Saya tidak ingin membeli baju lebih mahal dari orang lain. Saya juga tidak ingin kesulitan jongkok ketika sedang terjebak hujan di Indomaret.
Jadi saya berdoa, supaya nanti, penerimaan saya terhadap XL tidak berujung pada
XXL.
Posting Komentar untuk "Sulitnya Menerima Kenyataan kalau Ukuran L Sudah Jadi XL"
Beri saran