Adu Mulut Pejuang Kebenaran (Islam Simbolis versus Moderat Simbolis)
Isu toleransi dari dulu sampai nanti tidak akan pernah ada habisnya. Toleransi memang rumit. Tidak hanya soal agama saja. Kerumitan toleransi menjalar di berbagai sendi kehidupan manusia. Terutama urusan SARA.
Toleransi memang sangat dibutuhkan di sebuah negara yang majemuk. Kebayang kalau orang-orang di negara heterogen tidak bisa bersikap toleran.
Pasti, tidak akan pernah ada perdamaian. Peperangan tidak akan pernah
usai dan singgung-menyinggung akan membudaya sampai kapan pun.
Ini yang ditakutkan banyak orang. Di Indonesia (sebagai negara yang punya banyak sekali ras dan agama) menjadi sebuah kewajiban bagi warganya untuk menerapkan hidup berdampingan. Mau tidak mau mereka dipaksa untuk toleran.
Sebagian sudah menerapkan toleransi dengan baik. Tapi
sebagian yang lain, toleransi masih seperti sebuah cita-cita utopis.
Saya tidak bertujuan untuk menyinggung siapapun. Siapa saja
yang merasa tersinggung, berhak untuk berargumen.
Baru-baru ini, terjadi sebuah peristiwa yang sangat tidak
mengenakkan. Sebuah ceramah yang tersebar di media sosial menjadi ramai karena
dituding telah melukai hati para seniman Indonesia yang sejak dulu sudah
melestarikan seni wayang.
Ulama itu berpendapat bahwa wayang tidak sesuai dengan
syariat Islam. Semangat keislaman dari ulama tersebut memang sudah bisa dilihat
dari fatwa-fatwa yang sangat mendahulukan agama ketimbang urusan lain.
Ceramah itu tentu menyinggung dan memancing berbagai macam
reaksi. Salah satu reaksi yang paling kondang datang dari salah satu ulama
kenamaan tanah air yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang-orang.
Tapi tanggapan itu dinilai berlebihan. Sebuah tanggapan yang
tidak sepatutnya keluar dari seorang ulama yang memiliki nama besar dan dikenal
sebagai pejuang toleransi dan aliran agama yang moderat.
Ini tentu menjadi sebuah ironi. Di satu sisi, ulama yang
dianggap telah mengharamkan wayang dihajar habis-habisan oleh orang yang
mendukung wayang.
Ulama yang mengharamkan wayang dinilai tidak menghargai seni, tidak mengerti ajaran Islam yang sesungguhnya, dan tidak toleran. Ini tentu menjadi sebuah ironi.
Di satu sisi, toleransi memang perlu ditegakkan, tapi di
sisi lain, orang-orang yang menegakkan toleransi ini kerap bersikap tidak
toleran.
Geng Islam di Indonesia
Dalam konteks ini, Islam di Indonesia secara umum terbagi
menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok yang menganggap dirinya paling Islami, dan
kelompok yang menganggap dirinya paling toleran.
Untuk memudahkan, saya akan menamakan kelompok pertama
sebagai kelompok Islamis, dan kedua sebagai kelompok toleran. Ini terjadi sejak
dulu, dan merambah ke berbagai lini. Termasuk politik.
Saling tuding menuding adalah hal yang kerap menjadi konsumsi
publik. Entah dalam konteks beragama maupun berpolitik.
Kelompok Islamis kadang menuding kelompok toleran dengan cap
Islam liberal. Sedangkan kelompok toleran seringkali menuding kelompok Islamis
sebagai kelompok radikal.
Kelompok Islamis mengaku dirinya paling Islam dan berada di
pihak Tuhan. Sedangkan kelompok toleran menganggap dirinya sebagai golongan
paling nasionalis dan moderat.
Perseteruan ini sebetulnya terjadi di mana pun, dan wajar
saja. Namun, yang bikin perseteruan itu menjadi sebuah hal yang disayangkan
adalah perdebatan yang tiada henti yang berujung pada pertengkaran politik.
Suara-suara mereka dimanfaatkan oleh calon politik. Kubu satu dengan kubu yang lain semakin dimantapkan ideologinya oleh orang-orang politik.
Mereka diminta untuk lebih loyal terhadap gengnya masing-masing. Tujuannya
tentu untuk mendapatkan pendukung yang solid dan banyak.
Dampaknya, akan lahir golongan-golongan yang sangat solid dan atas kesolidan itu, mereka menyerang golongan lain.
Masih baik kalau golongan
yang diserang memiliki kekuatan yang sama. Artinya mereka bisa melakukan
perlawanan. Tapi bagaimana jika tidak? Ini bukan semacam perlawanan, akan
tetapi penindasan.
Islam
Simbolis (Gerakan Islamis)
Saya tidak ingin membela siapapun
tentang apa yang saya tulis. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di kepala dan
penting untuk saya tuangkan di sini.
Sebelum membahas tentang Islam
simbolis. Saya ingin bilang bahwa Islam dan Islamis itu beda. Jangan disamakan.
Sebagian besar orang masih menyamakan hal ini.
Islam adalah sebuah agama yang
turun dari Allah melalui Nabi Muhammad. Ajaran agama yang selama ini kita anut
dan kita yakini benar. Kebenaran Islam di Al-Qur’an mutlak dan tidak bisa
diganggu gugat.
Sedangkan Islamis adalah sebuah
gerakan yang berideologi Islam. Sebuah gerakan sosial atau politik yang
menjadikan Islam sebagai dasar gerakannya.
Kelompok Islamis ini ada banyak.
Kalau di luar negeri ada Ikhwanul Muslimin, Jamiatul Khair, Hizbut Tahrir, dan
lain sebagainya. Di Indonesia ada gerakan 212, Front Pembela Islam, Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan lain sebagainya.
Mereka adalah golongan yang
menjadikan Islam sebagai ideologinya. Meskipun begitu, dalam praktiknya,
gerakan Islamis ini tentu mengalami masalah-masalah dan perbedaan pendapat. Meskipun
sama-sama memegang Islam sebagai prinsip.
Mengapa itu bisa terjadi? Tentu ini
karena ada perbedaan antara Islam dan Islamis. Anda sudah tahu tentang
perbedaan keduanya. Hukum Islam adalah hukum Tuhan, dan hukum gerakan Islamis
adalah produk penafsiran dari Islam.
Kebenaran Islam adalah mutlak,
sedangkan kebenaran Islamis tidak mutlak.
Al-Qur’an sendiri adalah produk
final. Tapi masih bisa dikembangkan arti dan maksudnya melalui penafsiran
manusia. Hal itu yang membuat Al-Qur’an selalu relevan dengan zaman.
Orang-orang Islamis inilah yang menafsirkan
Al-Qur’an. Karena itu, tidak menutup kemungkinan bagi mereka (manusia-manusia)
mengalami kesalahan dalam penafsiran. Mungkin bukan kesalahan, lebih tepatnya
adalah perbedaan pandangan.
Perbedaan pandangan dan penafsiran
itu wajar. Yang tidak wajar adalah menganggap bahwa apa yang ditafsirkan sudah
pasti benar. Tidak ada kebenaran lain yang bisa menandingi kebenaran yang
mereka tafsirkan.
Ini adalah tindakan yang posesif.
Menganggap bahwa Tuhan berada di pihaknya dan mengira bahwa Tuhan selalu membela
mereka. Mereka menggunakan simbol agama Islam sebagai panji.
Dengan membawa simbol agama Islam,
mereka beranggapan bahwa kebenaran gerakan Islamis mereka memiliki derajat yang
sama dengan kebenaran Islam. Padahal tentu tidak.
Kelompok seperti ini adalah
kelompok Islam simbolis. Mengaku menggunakan Islam sebagai acuan gerakan dan simbol
gerakannya, padahal sebetulnya yang mereka jadikan acuan adalah penafsiran
mereka sendiri terhadap Islam.
Moderat
Simbolis
Orang-orang yang memperjuangkan
moderasi di Indonesia juga tidak kalah banyak. Sebagian dari kalangan
minoritas, sebagian lagi dari kalangan mayoritas.
Pluralisme di Indonesia jauh-jauh
hari memang sudah diperkenalkan oleh Gus Dur. Seorang bapak pluralis Indonesia
yang dalam kebijakannya tidak hanya memikirkan nasib kelompok dan agamanya,
tapi juga agama lain.
Ini tentu baik dan banyak orang
yang bersyukur atas apa yang dilakukan oleh Gus Dur.
Sekarang Gus Dur memiliki banyak
pengikut. Orang-orang yang setuju dengan pemikirannya Gus Dur semakin bertambah.
Toleran adalah sebuah kewajiban. Pasalnya, kita tinggal di sebuah negara yang
menampung banyak sekali perbedaan.
Dalam perkembangannya (terutama
akhir-akhir ini), toleransi menjadi salah satu ideologi yang kerap ditentangkan
dengan Islamis. Seakan orang yang Islamis tidak toleran, dan orang yang toleran
tidak boleh Islamis.
Orang yang menjujung tinggi nilai
Islam, mengutamakan Islam dalam penerapan kehidupan kesehariannya di Indonesia
kerap tidak memiliki sikap yang toleran.
Ironisnya, tuntutan atas sikap
toleran itu kerap dilakukan dengan cara yang tidak toleran.
Orang Islam misalnya, mereka sangat
getol memperjuangkan toleransi terhadap non-Islam. Memberikan mereka kesempatan
untuk beribadah, mengucapkan selamat di hari besar mereka, bahkan memberikan
tausiyah di tempat ibadah mereka.
Ini adalah sikap toleran yang
sangat sangat toleran. Saya tidak akan membahas mengenai hukum boleh tidaknya,
tapi, yang pasti, sikap itu bagus untuk keberlangsungan keberagaman.
Tapi, sikap toleran terhadap
non-Islam dalam beberapa kesempatan justru membuat mereka melakukan tindakan
yang tidak toleran kepada kelompok Islam lain yang dianggap “tidak toleran”.
Saya pernah membaca salah satu buku
karya Yuval Noah Harari, saya lupa buku yang mana, tapi yang pasti, dia mencontohkan
kasus yang sama dengan saya kemudian ada kalimat “justru karena aku toleran,
maka aku tidak ingin ada orang yang tidak toleran”.
Kalimat itu tentu bisa dibenarkan,
bisa juga tidak. Bisa dibenarkan apabila memang toleransi adalah sebuah
keharusan yang wajib diterapkan. Karena jika ada satu saja orang yang tidak
toleran, maka dunia akan hancur.
Tapi, tidakkah toleransi adalah
sebuah sikap terhadap siapapun? Di sini letak tidak bisa dibenarkannya kalimat
di atas. Jika orang-orang toleran itu tidak bersikap toleran kepada orang-orang
yang dianggap “tidak toleran”, maka, sama, toleransi mereka hanya sebuah
simbol.
Pada akhirnya, artikel ini ditulis
bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Semua orang berhak
berpendapat dan berargumen. Asalkan kebebasan pendapatnya tidak menutup hak
orang lain juga untuk berpendapat.
Kita boleh membela atau tidak
setuju dengan suatu pendapat. Yang tidak baik adalah setuju dan membela sebuah
kelompok. Ketika kita menganggap bahwa apapun yang dikatakan oleh satu kelompok
selalu benar ketimbang kelompok lain, maka kita perlu instrospeksi diri.
Jangan-jangan kita tidak sedang
membela kebenaran menurut kita. Jangan-jangan kita justru malah sedang membela
kepentingan suatu kelompok tertentu.
Semua anggota kelompok adalah
manusia, dan manusia bisa salah, bisa juga benar. Tidak ada kebenaran yang
mutlak yang keluar dari pikiran manusia.
Posting Komentar untuk "Adu Mulut Pejuang Kebenaran (Islam Simbolis versus Moderat Simbolis)"
Beri saran