Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak Sejarah Sebaiknya Jangan Terlalu Sibuk Mikir Candi dan Artefak

Saya sering sekali dibilang tidak bisa move on. Bukan karena saya tidak bisa melupakan mantan, tapi karena saya memutuskan untuk masuk kuliah jurusan sejarah. Ini tidak terjadi satu atau dua kali. Sering sekali.

Saat saya ngumpul bareng teman-teman yang tidak satu jurusan, pasti stigma itu datang. Rasa-rasanya, dalam pergaulan, saya adalah manusia paling tua yang ada di sana. Apalagi saya adalah anak sejarah Islam. Lebih spesifik lagi.

Dugaan orang-orang, jurusan sejarah Islam kalau gak belajar sejarah Nabi, ya, sejarah Wali Songo. Walhasil, semua detil tentang Nabi dan Wali Songo kerap menjadi pertanyaan orang-orang di luar saya.

Ini tidak hanya terjadi di saya. Hampir teman-teman sejurusan mengalami hal yang serupa. Mereka kerap kesal dengan presepsi umum yang selalu mengatakan bahwa anak sejarah hanya bisa berdongeng, bercerita masa lalu, dan enggan dengan isu-isu masa depan.

Hal ini yang membuat mereka kemudian memilih untuk bertindak lebih. Melakukan action dan menambah job desk sebagai anak sejarah.

Di kampus saya, sebagian besar teman, selalu mendesak jurusan untuk melakukan action lebih. Misalnya dengan meminta adanya kerja sama dengan museum-museum, menjadi tour guide di sebuah situs sejarah, atau bahkan ada yang minta untuk ikut dalam ekskavasi candi.

Bekerja sama dengan museum dan menjadi tour guide di sebuah situs sejarah mungkin masih bisa diterima. Tapi yang sama sekali tidak bisa diterima adalah ekskavasi candi. Masalahnya, ini banyak sekali peminatnya.

Anak sejarah di tempat saya kuliah, sering sekali menuntut pihak jurusan untuk lebih aktif lagi dalam memberikan informasi terkait candi dan artefak. Padahal, sama sekali itu bukan tugas mereka.

Ekskavasi adalah tugas para arkeolog. Arkeolog dengan berbekal ilmu menggali dan ilmu tentang batu-batuan lebih pantas untuk melakukan kegiatan itu tanpa campur tangan anak sejarah. Anak sejarah berperan setelah semua canti tergali dan tersusun dengan rapi.

Anak sejarah kemudian bertugas untuk membaca peradaban atau kebudayaan yang terbangun pada zaman candi itu masih berfungsi. Bagaimana kulturnya, lapisan sosialnya, dan bagaimana kondisi politiknya.

Namun, masalah terbesarnya adalah, tidak semua anak sejarah paham bagaimana melakukan itu. 

Anak sejarah terlalu sibuk memilikirkan job desk orang lain sehingga lupa akan perannya sendiri. Ini hanya berlaku di anak sejarah kampus saya saja, ya, bukan yang lain.

Saya jadi ingat petuah salah satu sejarawan kondang tanah air, JJ Rizal. Ia pernah bilang kalau anak sejarah ditanya setelah lulus mau jadi apa, jawab, jadi sejarawan!

Sejarawan itu banyak cabangnya. Ada yang menulis buku, ada yang membuat video, dan ada yang menjadi sejarawan akademik. 

Tugas seorang sejarawan memang menyampaikan informasi sebanyak-banyaknya dari masa lalu kepada orang masa sekarang. Bukan menggali candi dan berurusan dengan artefak.

Biarkan saja orang lain menilai kalau anak sejarah hanya bisa mendongeng. Dongeng bukan berarti negatif, kok. Tanpa dongeng dan cerita masa lalu, orang-orang tidak akan tahu apa-apa tentang dirinya.

Jadi, buat anak sejarah yang masih sibuk mikirin candi dan artefak, lebih baik perbanyak buku bacaan Anda dan lakukan action dengan membuat karya buku atau tulisan sejarah yang bisa dibaca oleh khalayak umum, ketimbang harus mengambil job desk jurusan lain.

Posting Komentar untuk "Anak Sejarah Sebaiknya Jangan Terlalu Sibuk Mikir Candi dan Artefak"