Mendaki Gunung Ungaran, Mencari Jawaban atas Opini “Absurd” tentang Pendaki FOMO
Dulu sekali, ketika baru memasuki dunia pendakian, saya sempat tidak paham alasan mengapa orang-orang mendaki gunung tanpa bermalam. Padahal, salah satu seni dalam mendaki gunung adalah menikmati perjalanan, membawa keril, dan menginap di dalam tenda.
Jika orang mendaki gunung dengan cara tektok atau tanpa bermalam, semua kenikmatan itu tidak akan pernah mereka dapatkan. Mereka mendaki dengan cara buru-buru, tidak membawa tenda, dan tentu, membawa logistik yang sangat terbatas.
Pendaki tektok juga akan memilih logistik sesedikit mungkin agar tidak memberatkan ketika berada di perjalanan. Mereka hanya akan mengisi perut dengan makanan yang dapat menambah energi tanpa mencoba untuk memanjakan lidah dengan makanan lain yang perlu proses lebih panjang.
Saya berpendapat jika pendakian camping tidak akan pernah bisa disamakan dengan mendaki tektok. Tapi, mendaki gunung dengan langsung turun di hari yang sama ternyata juga punya sensasinya tersendiri.
Saya jadi ingat beberapa waktu yang lalu (bahkan sampai sekarang) orang-orang sibuk dengan perdebatan perihal pendaki FOMO versus pendaki sepuh. Banyak orang yang masih salah paham dengan menganggap bahwa FOMO sama dengan kurang persiapan.
Para pendaki yang mengatasnamakan diri sebagai pendaki sepuh biasanya merujuk pada beberapa aspek. Cara mendaki, perlengkapan, hingga pakaian. Para pendaki sepuh mendaki dengan cara camping. Gear lengkap dan mereka sering menggunakan kemeja flanel saat mendaki.
Sementara pendaki FOMO identik dengan pendakian tektok, membawa gear seadanya, dan berpakaian dengan nyentrik. Mereka biasanya menggunakan pakaian yang sekarang dikenal dengan jaket gorpcore. Itulah doktrin yang tersebar di kalangan pendaki, padahal doktrin itu banyak salahnya.
FOMO bukanlah tanpa persiapan. FOMO adalah akronim dari ‘fear of missing out’, arti sederhananya adalah takut ketinggalan. Pendaki tektok bukan FOMO. Kalau saya bisa membela, mereka bukan kurang persiapan. Tapi, mereka persiapan sesuai dengan kebutuhan.
Dulu saya sempat sedikit sepakat tentang opini absurd tentang pendaki tektok yang dianggap kurang persiapan. Sampai akhirnya, saya terbuka dan mencoba untuk mendaki dengan cara tektok.
Baru saja, bulan kemarin, saya memutuskan untuk mendaki gunung dengan cara tektok. Gunung yang saya pilih adalah Ungaran dengan jalur paling populernya yaitu Perantunan.
Ungaran menjadi gunung tektok pertama saya yang berada di ketinggian 2.000-an mdpl. Sebelumnya saya memang sudah pernah tektok, tapi hanya di Gunung Andong dan Gunung Api Purba Nglanggeran. Saya lebih suka menyebut mereka sebagai bukit, karena jarak tempuh pendakiannya kurang dari 400 meter vertikal.
Perjalanan
Saya berangkat dari Jogja pagi hari, sekitar pukul 5 subuh dengan menggunakan motor Vario 160 kesayangan saya. Perjalanan dari Kota Jogja ke basecamp (selanjutnya akan saya sebut BC) Perantunan membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Saya sama sekali tidak beristirahat di jalan. Selain karena takut kesiangan, sepanjang jalan juga masih belum ada Indomaret yang buka.
Jalan menuju ke BC sebetulnya cukup nyaman. Namun, 1 kilometer menjelang sampai, kita akan ketemu dengan perkampungan padat dan kemudian perkebunan warga. Akses jalannya juga cukup sempit sehingga kendaraan roda 4 harus parkir di bawah dan terpaksa naik ojek dengan harga Rp15 ribu.
Di sana tanjakannya lumayan terjal. Di tengah-tengah tanjakan, kebetulan saya waktu itu dihadapkan pada truk warga yang sedang bongkar muatan. Untungnya, secara mendadak, jari kanan dan kiri reflek untuk menarik pelatuk rem dan membuat motor kesayangan saya berhenti di tengah jalan yang menanjak
Meski agak sedikit kaget, sekali lagi, Vario 160 kesayangan saya dengan sangat mudah melibas tanjakan itu walau harus sedikit meraung lebih kencang dari biasanya. Beberapa menit setelahnya saya sampai di BC.
Hal pertama yang langsung saya lakukan ketika sampai di BC adalah mengecek berapa ketinggiannya dengan membuka aplikasi yang telah terinstall di gawai. Hasilnya, BC Perantunan berada di ketinggian sekitar 1.200-an mdpl. Artinya, untuk bisa sampai ke puncak (2.050 mdpl) dibutuhkan tenaga untuk menanjak sekitar 800-an meter vertikal.
Pengalaman tektok saya sebelumnya hanya menanjak sekitar 400-an mdpl di Andong, dan 300-an mdpl di Gunung Api Purba Nglanggeran. Jadi, ini jadi pengalaman tektok tertinggi untuk pertama kalinya selama saya menggeluti dunia pendakian gunung. Awalnya, muncul perasaan ragu apa bisa, tapi, lama kelamaan perasaan itu hilang dengan sendirinya.
Enaknya mendaki di sini, fasilitas BC-nya sangat lengkap. Toilet ada di mana-mana. Berjejer rapi dan bersih. Selain itu, pihak pengelola juga memanfaatkan warga sekitar agar membuka warung di sana. Jadi pendaki tidak kesulitan untuk memilih di mana mereka akan beristirahat dan bersiap untuk melakukan pendakian.
Seperti para pendaki lainnya, saya mengawali aktivitas dengan mengisi perut. Makan di salah satu warung yang dijaga oleh seorang ibu muda dan suaminya. Menunya murah. Saya memesan nasi rames dengan lauk telur. Usai makan, saya hanya diminta untuk membayar Rp10 ribu.
Di BC sebetulnya sudah ada ratusan mungkin bahkan ribuan motor pendaki. Mereka semua tampaknya sedang berada di atas karena memulai trekking saat pagi buta. Saat itu pukul 8 pagi. Prediksi saya, sepanjang perjalanan akan berpapasan dengan ratusan pendaki yang sedang turun.
Pendakian
Setelah bersiap-siap, pendakian saya mulai tepat pukul 08.00 pagi. Dari BC ke pintu rimba tidak ada ojek. Pendaki harus berjalan kaki kurang lebih selama 10 menit. Di sini treknya masih tergolong enak. Meski nanjak tapi nggak bikin capek, karena permukaan tanahnya rata dan didominasi oleh batuan yang ditata rapi.
Setelah sampai di pintu rimba, saya tidak lupa mengabadikan foto sebagai salah satu ritual wajib yang dilakukan oleh para pendaki. Setelah pintu rimba, trek yang sesungguhnya siap menyambut saya.
Perjalanan dari pintu rimba ke pos 1 tergolong sangat mudah dan landai. Saya lupa berapa menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke pos 1. Mungkin sekitar 20 menit kalau saya tidak salah. Satu-satunya tantangan saya saat itu adalah trek yang basah. Awalnya kukira jalan becek karena habis hujan, ternyata saya salah.
Di pos 1, saya tidak melakukan istirahat sama sekali. Badan masih fit. Lagipula, di shelter pos banyak sekali pendaki yang turun dan menggunakan tempat tersebut untuk berteduh. Kasihan, mereka baru saja menyelesaikan misi yang amat sangat berat karena harus berangkat dini hari dan turun pada pagi hari.
Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 juga masih cenderung agak landai dan di beberapa spot terdapat genangan air yang masih saya kira sebagai air hujan sisa semalam. Namun, setelah beberapa kali ketemu genangan dan jalan becek, saya mencoba mengamati, ternyata itu bukan genangan sisa hujan, melainkan mata air kecil yang terus keluar sehingga menggenang di jalan.
“Misi, Mas. Semangat, Mas,” adalah sebuah sapaan yang mulai saya dengar saat berada di atas pos 1. Di trek ini ada banyak sekali pendaki turun. Sampai-sampai saya harus minggir karena bergantian dengan mereka karena jalan yang sempit.
Ucapan mereka memang terdengar klise dan tidak berguna. Tapi, percayalah, mereka benar-benar sedang memberi semangat. Mereka ingin saya tidak menyerah dan terus berjalan agar bisa sampai ke puncak ‘seperti mereka’. Saya juga sering merasa begitu setelah turun dari puncak.
Jarak antara pos 1 dan pos 2 juga tidak terlalu panjang, sepertinya saya hanya menempuh waktu sekitar 20 menit dengan jalan santai. Di pos 2, saya juga ketemu dengan banyak pendaki yang beristirahat. Jiwa mengalah yang selalu ada dalam diri saya kembali menguasai otak. Lagi-lagi, saya mengalah dan tidak istirahat di pos 2.
Setelah pos 2, trek mulai menanjak. Medan pendakian di sini sudah didominasi oleh tanah dan akar. Meski begitu, karena kondisi trek yang kering dan luas maka kaki masih belum kesulitan untuk melangkah.
Tidak lama dari pos 2, pos 3 tampak sudah terlihat. Berbeda dengan dua pos sebelumnya, di sini saya memutuskan untuk beristirahat. Di shelter ada beberapa pendaki yang juga istirahat. Mereka duduk berjejer dan berhadapan satu sama lain. Di sini saya diam dan mendengarkan bagaimana orang lokal berbicara dengan logat mereka.
Tidak lama beristirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju ke pos 4. Saya masih berani dan percaya diri mengatakan jika trek yang saya lalui masih sangat cenderung bersahabat. Saya bisa jalan cepat, sementara di gunung-gunung lain, untuk jalan dengan tempo sedang pun saya kesulitan.
Sementara itu, ketinggian di pos 4 adalah sekitar 1.700-an mdpl. Artinya perjalanan dari pintu rimba menuju ke pos 4 adalah sekitar 300-an mdpl. Artinya, saya masih punya tanggungan 300-an mdpl untuk bisa sampai di puncak tertingginya Gunung Ungaran. Nama puncaknya adalah Puncak Botak di ketinggian 2.050 mdpl.
Jarak dari pos 4 ke puncak tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan jarak pos 4 ke pintu rimba. Oleh karena itu, perjalanan 300 meter vertikal itu akan terasa cukup melelahkan karena sudah pasti didominasi oleh tanjakan.
Gunung Ungaran mempunyai 5 pos dan 3 puncak. Saya melanjutkan perjalanan dari pos 4 ke pos 5 dengan jalan yang lebih menanjak dari yang sebelumnya. Meski begitu, setengah perjalanan di sini vegetasinya sudah mulai terbuka, sehingga pemandangan bisa terlihat cukup indah.
Sampai di Puncak
Saya sampai di puncak pertama Gunung Ungaran (Puncak Bondolan) sekitar pukul 11 siang. Puncak Bondolan memiliki ketinggian sekitar 1.880 mdpl. Meski begitu, di peta gawai saya, ketinggian puncak ini adalah sekitar 1.900 mdpl. Perbedaan mdpl yang tertulis di plang puncak dan di gawai tidak mengurangi rasa senang saya saat sampai di sini.
Di Puncak Bondolan ada area camp yang cukup luas. Lokasinya cukup bagus. Di sana kita bisa melihat berbagai gunung yang menjulang tinggi seperti Merbabu, Sumbing, Sindoro, Prau, dan lain-lain.
Melihat area camping yang begitu luas dan cantik, saya yang sedang dalam proses pencarian tempat camp yang enak untuk digunakan sebagai solo camping, mungkin akan memasukkan list Gunung Ungaran sebagai salah satu destinasi solo camping saya di kemudian hari.
Tidak lama beristirahat di Puncak Bondolan, saya melanjutkan perjalanan ke Puncak tertingginya yaitu Puncak Botak. Perjalanan dari Bondolan ke Botak sebetulnya cukup landai. Tapi trek yang kami lalui adalah sebuah punggungan yang naik turun sehingga kiri dan kanannya merupakan jurang yang dalam.
Waktu perjalanan kami habiskan untuk jalan pelan dan berhati-hati. Maka dari itu, waktu yang saya tempuh untuk sampai ke Puncak Botak adalah sekitar 50 an menitan. Di tengah perjalanan, saya juga menemukan view yang cukup oke sehingga memutuskan untuk foto dan beristirahat sembari makan bekal roti yang kami bawa dari bawah.
Setelah puas, saya lanjut jalan tentu dengan sangat pelan. Beberapa menit kemudian, saya sampai di puncak Botak Gunung Ungaran. Di sini hanya ada beberapa pendaki yang berfoto dan masih bercengkrama dengan kawan-kawannya.
Tanpa menunggu lama saya juga memulai aktivitas di puncak dengan berfoto untuk mengabadikan momen di gunung ini. Saya tidak ingin kekurangan momen sehingga ada puluhan foto dengan berbagai gaya yang saya abadikan di sini. Selain itu, karena saya juga membuat dokumentasi video, jadi saya manfaatkan waktu ini untuk merekam dan mengambil semua footage dengan berbagai angel.
Perjalanan Turun
Sebetulnya masih ada satu puncak lagi yang bisa dicapai oleh para pendaki di Gunung Ungaran. Puncak itu adalah Puncak Banteng Raiders. Namun, untuk bisa sampai di puncak itu saya harus menghabiskan waktu yang cukup lama, karena harus turun bukit dan kemudian naik kembali.Saya memutuskan untuk tidak ke Puncak Banteng Raiders agar waktu kami tidak habis di jalan. Lagipula, saya sudah dapat puncak tertingginya, tidak ada lagi yang perlu dikejar, bukankah begitu?
Setelah puas di puncak, saya langsung turun ke basecamp. Semudah naiknya, turun di Gunung Ungaran juga termasuk mudah jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang pernah saya datangi. Tapi, ada satu medan yang berbeda dibandingkan dengan saat saya naik.
Saya memilih jalur yang berbeda dengan saat saya naik. Saya mengambil jalan turun menuju ke arah Puncak Banteng Raiders dan kemudian akan bertemu dengan pertigaan. Jika ke kiri menuju ke Banteng Raiders, dan jika ke kanan adalah perjalan turun menuju ke basecamp. Saya memilih untuk belok kanan.
Berbeda dengan jalan sebelumnya. Di sini kondisi treknya masih sangat asri, dengan pepohonan yang tinggi dan semak yang lebat. Selain itu, saya juga jarang sekali menemukan pendaki yang naik lewat jalur ini. Mungkin selain lebat, jalur ini juga sangat terjal dan dipenuhi dengan bebatuan yang gampang runtuh.
Gara-gara batuan itu, beberapa kali saya hampir terpeleset. Trek di sini beberapa ada yang basah. Jarak antara satu batu dan batu yang lain juga cukup jauh sehingga memaksa kaki untuk melangkah lebih luas dari langkah biasanya. Akibatnya, beberapa kali saya harus sedikit melompat.
Jalan ini nantinya akan tetap bertemu dengan trek yang seharusnya. Titik pertemuannya berada di pos 4. Di sini saya berjalan cukup cepat karena ingin sesegera mungkin bertemu dengan jalur semula. Sekitar 30 menit kemudian saya sampai di pos 4 dan memutuskan untuk beristirahat sebentar.
Di pos 4 saya menghabiskan sisa makanan yang berada di dalam tas agar perjalanan turun menjadi lebih mudah lagi. Setelah makanan habis, saya lanjut turun dengan kecepatan yang ekstra. Bukan karena kaki masih kuat, tapi karena di bawah pos 4, trek di gunung ini sudah cukup landai dan didominasi oleh tanah sehingga membuat saya mudah melangkahkan kaki.
Tidak butuh waktu lama untuk bisa sampai di pos 3, pos 2, dan kemudian basecamp. Bahkan, di jalan-jalan tertentu, saya sampai bisa lari-larian sambil turun gunung. Ini tentu merupakan pencapaian yang cukup membanggakan, karena sebelumnya, turun gunung adalah bagian yang saya anggap paling menyebalkan dalam pendakian.
Sampai di basecamp, saya langsung memutuskan untuk bebersih dan memesan sebuah soto di warung tempat kami memesan makan saat hendak naik. Kami sampai di basecamp sekitar pukul 3 sore dan setengah jam kemudian langsung pulang ke Jogja agar tidak terlalu malam di jalan.
Gunung Ungaran memang tidak sepopuler gunung-gunung lain di Jawa Tengah. Tapi, gunung ini punya pemandangan dan pesonanya tersendiri. Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa sampai di puncaknya.
Gunung Ungaran sangat cocok untuk pendaki pemula. Jika kamu ingin mendaki gunung untuk pertama kali. Mungkin saya akan sarankan untuk mendaki gunung ini. Tapi, jika belum kuat melakukan pendakian secara tektok, mungkin kamu bisa membawa tenda dan camping di Puncak Bondolan.
Pada akhirnya pendakian tektok bukanlah tentang siapa yang lebih senior dan siapa yang FOMO. Gunung Ungaran memang sangat direkomendasikan untuk orang yang ingin belajar naik gunung, dengan cara apapun.
Para pendaki yang saya temui di jalan pun terasa seperti profesional di bidangnya. Mereka berjalan dengan kencang, menjadi yang paling peduli dengan rombongan, dan tidak pernah melupakan keselamatan kawan.
Meski begitu, tampilan mereka juga sangat nyentrik, menggunakan jaket gorpcore, kacamata las, dan bahkan hanya membawa satu botol minuman untuk bekal naik dan turun dalam sehari.
Pada akhirnya, mendaki itu bukan hanya soal bagaimana cara kita menikmati alam. Tapi bagaimana kita mempersiapkan diri. Langkah terbaik menilai pendaki bukanlah dari cara mereka berpakaian, tapi dari cara mereka menghargai alam dan manusia lain yang sama-sama ingin istirahat menenangkan diri di hutan.



Posting Komentar untuk "Mendaki Gunung Ungaran, Mencari Jawaban atas Opini “Absurd” tentang Pendaki FOMO"
Beri saran