Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Program Food Estate, Sederhana Tapi Rakyat Nggak Suka

Unsplash

Saya ingin memulai dengan sebuah contoh bahwa orang kita jarang sekali bisa mencari solusi untuk memecahkan masalah. Setiap solusi yang dipilih seringkali tidak ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi.

Kita mulai dari lagu anak-anak, judulnya Balonku Ada Lima. Lagu itu menceritakan seorang anak yang punya 5 balon dengan warna yang beragam. Kemudian, ia dihadapkan pada situasi yang membuat hatinya kacau, si balon hijau tiba-tiba meletus.

Untuk mengantisipasi hal-hal serupa kembali terjadi, anak pemilik balon itu pun mencari solusi. Bukan dengan memindahkan balon ke tempat yang lebih tertutup dan teduh, tapi ia memilih untuk memegang erat-erat keempat balon yang tersisa di tangannya.

Dari lagu itu, saya belajar bahwa sejak kecil, kita selalu diajarkan untuk langsung mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Tanpa mendalami masalah tersebut baik-baik. Endingnya, solusi yang diambil tidak cukup ampuh dalam memecahkan masalah.

Jika kita analisis, solusi untuk memegang erat, bukanlah pemecahan masalah yang tepat untuk balon yang meletus. Kalau masalahnya adalah balon yang lepas, itu baru betul. Itulah kenyataannya.

Problem balon adalah masalah yang sepele. Tapi, jika anak pemilik balon itu berubah menjadi orang dewasa yang sukses dan kemudian memiliki jabatan penting di sebuah perusahaan atau bahkan negara, maka ini akan menjadi masalah besar.

Terlebih apabila jadi presiden, dia bisa saja membuat kebijakan yang bisa jadi bukan merupakan solusi atas masalah yang dialami oleh masyarakatnya. Entah kebetulan atau tidak, di Indonesia banyak sekali kejadian yang serupa.

Program Food Estate yang Gagal

Saya ingin langsung mengambil contoh program food estate atau lumbung pangan. Sudah menjadi berita yang tersebar luas di kanal media nasional jika presiden kemarin dan sekarang sedang membangun lahan sebagai lumbung pangan di Merauke.

Sebelumnya, program ini telah diterapkan di berbagai daerah di tanah air. Tujuannya adalah agar ketahanan pangan di Indonesia meningkat dan masyarakat bisa membeli bahan makanan dengan harga yang murah tanpa harus impor dari luar negeri.

Dengan begitu, cita-cita presiden baru sekarang akan terwujud, yaitu Indonesia dapat menjadi negara yang mandiri secara pangan, atau bahasa lainnya adalah swasembada pangan. Ini kedengarannya program yang bagus.

Tapi, izinkan saya berbeda pendapat. Saya rasa, program ini bukanlah program yang tepat. Indonesia memang kaya akan hutan yang bisa dibabat kapan pun untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan untuk menunjang ketahanan pangan.

Namun, di beberapa daerah, program ini justru gagal total. Contohnya adalah di Kalimantan Tengah. Tepatnya di Desa Tajepan, Kapuas. Setelah tiga tahun, petani gagal menanam padi, sehingga ribuan hektar lahan proyek food estate justru terbengkalai. Bahkan, ratusan hektar dari lahan tersebut berubah menjadi perkebunan sawit swasta.

Dari sini, pemerintah kudu belajar bahwa tidak semua tanah bisa dijadikan sebagai tempat untuk bertani, lebih-lebih menanam padi. Padahal hutan sudah terlanjur dibabat, tapi lahan tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Siapa yang rugi? Rakyat. Siapa yang untung? entahlah. Lagipula, siapa juga yang bisa menanam padi di lahan gambut?

Tapi itu adalah masalah lain, saya sedang ingin fokus pada pemilihan program food estate sebagai solusi atas pangan di tanah air.

Program food estate adalah bentuk dari kebijakan yang tidak sesuai dengan masalah warganya. Jika kita mau objektif, masalah warga bukanlah kekurangan makanan. Hampir di seluruh penjuru negeri ini bisa makan. Bahkan, warga yang dianggap kekurangan pangan pun bisa makan.

Pertanyaannya adalah, apa yang mereka makan? Apakah nasi, jagung, ikan, atau sagu? Jawabannya adalah semuanya. Masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke memakan semua makanan tersebut, tergantung daerah masing-masing.

Orang Jawa dan Sumatera makan nasi, orang Sulawesi dan Papua makan sagu. Kita tidak bisa memaksakan orang Jawa untuk makan sagu dan orang Papua makan nasi. Nanti hasilnya bisa nggak baik.

Tapi, itulah yang sedang dilakukan pemerintah. Memaksa orang memakan makanan yang tidak sesuai dengan kebiasaannya. Buktinya mereka (pemerintah) sedang membangun proyek besar food estate di Merauke.

Tujuannya adalah untuk membangun lumbung pangan di wilayah Timur Indonesia. Tercatat ada sekitar 2,29 juta hektare lahan yang mulai dibangun sejak awal tahun 2020 lalu. Dua komoditas yang ditanam adalah padi dan tebu. Sekali lagi, padi dan tebu.

Obsesi Pemerintah terhadap Padi

Unsplash

Tentu ini adalah masalah yang sangat besar, masyarakat Papua sejak dulu tidak mengenal padi. Tanah yang ada di Papua didesain untuk tidak ditanami padi. Buktinya, lahan yang dipakai untuk program ini adalah lahan gambut dan kemungkinan besar akan gagal sama seperti proyek-proyek sebelumnya.

Kenapa pemerintah terobsesi sekali dengan padi? Padahal, jika kita mau membuka mata, orang Jawa sekalipun sejak dulu tidak semata-mata bergantung pada padi. Mereka makan umbi-umbian seperti singkong, kentang, dan lain-lain. Apalagi orang Papua.

Sampai sekarang, di Sulawesi dan Papua, makanan paling favorit adalah sagu. Entah tepung sagu yang dibuat kue, dimakan langsung, atau diolah dengan kuah kuning yang dikenal dengan nama kapurung.

Kembali ke masalah awal, masalah masyarakat Indonesia bukanlah kekurangan makanan, melainkan kekurangan makanan yang bergizi. Kalau masyarakat kita diminta makan nasi saja, ya mereka tidak akan mendapatkan gizi yang baik, mereka harus makan protein. Protein bisa didapatkan dari daging ikan.

Indonesia adalah negara maritim yang punya garis pantai salah satu yang terpanjang di dunia. Semua tahu itu, tapi kenapa itu tidak dimanfaatkan? Ini bukan pertanyaan, tapi gugatan. Saya ingin pemerintah segera mempertimbangkan untuk memanfaatkan laut yang kita miliki.

Saya ingat setahun yang lalu ketika pemerintah menggelontorkan dana Rp421 miliar untuk program food estate. Eks Menteri KKP, Susi Pudjiastuti mengatakan jika dana ratusan miliar itu bisa digunakan untuk membangun puluhan kapal yang bisa dipakai untuk menangkap ikan di laut.

Begini bunyi tweet Susi:

“Rp 421 miliar belikan 50 kapal ikan untuk tangkap ikan di perairan Indonesia. Satu kapal per tahun akan ada hasil minimal Rp10 miliar," tulis Susi dalam akun X pribadinya @susipudjiastuti, Kamis, 31 Agustus 2023.

Jika tweet Susi itu didengarkan dan dilakukan oleh pemerintah maka produksi ikan akan semakin melimpah, dan masyarakat bisa membeli ikan dengan harga yang murah. Ikan akan jadi makanan bergizi yang mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Selain Susi, tokoh penting yang juga menyuarakan tentang kegagalan food estate adalah Rocky Gerung. Saya tidak terlalu mengagumi sosok ini secara umum, tapi pendapatnya perihal food estate, saya cukup sepakat.

Dia mengatakan jika program food estate secara tidak langsung akan membawa masyarakat yang beragam ini memakan satu makanan yang sama. Lebih khusus, masyarakat Papua akan dipaksa untuk makan nasi dan tidak lagi sagu dan ikan.

“Keanekaragaman pangan itu lebih baik daripada satu monokultur pangan,” ucap Rocky di salah satu diskusi.

Kita kembali ke ikan, sebagai makanan yang perlu dipertimbangkan. Fakta lain yang ingin saya tunjukkan adalah bahwa level kesejahteraan nelayan itu lebih tinggi ketimbang level kesejahteraan petani yang menanam padi.

Inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Mencari solusi dengan mempelajari satu persatu masalah yang terjadi. Saya berasumsi jika program food estate dengan membuka lahan besar-besaran untuk ditanami padi adalah tindakan yang sangat sia-sia.

Selain bisa mengancam habitat asli hewan endemik Indonesia, tindakan tersebut hanya akan merusak alam dan menyebabkan hutan di berbagai wilayah di Indonesia semakin gundul sehingga menyebabkan bencana alam yang tidak bisa diprediksi.

Terlebih, sekarang banyak sekali orang yang mulai terinfluence bahwa nasi adalah makanan salah satu yang harus dibatasi. Tidak semua masyarakat Indonesia butuh padi sebagai makanan utama mereka. Mereka lebih butuh makanan bergizi yaitu ikan.

Ketimbang kita memaksakan kehendak dengan menyuapi masyarakat kita menggunakan nasi yang selalu dibeli dari luar negeri, lebih baik kita beralih ke makanan laut kita sendiri yang jauh lebih bergizi dan tidak perlu membeli dari luar negeri. Begitu akan lebih bagus. 

Posting Komentar untuk "Program Food Estate, Sederhana Tapi Rakyat Nggak Suka"