Pondok Pesantren Viral, Ternyata Algoritma Filter Bubbles di Medsos itu Inovasi yang Bijaksana

NBC
Terbuka ke pasangan bukan berarti menanggalkan privasi. Ada beberapa aspek tidak perlu diketahui oleh pasangan. Bukan karena menutupi perselingkuhan atau sejenisnya. Tapi, ini dilakukan hanya untuk menghindari kesalahpahaman.
Beberapa orang hanya perlu mengetahui hal yang layak mereka ketahui. Mencari tahu hal-hal yang jauh di luar dirinya kadang malah membuat seseorang merasa sakit hati. Inilah yang terjadi belakangan ini, tapi dengan ruang lingkup yang lebih luas di media sosial.
Sejak dulu, media sosial mengenal yang namanya algoritma. Tujuannya agar pengguna nyaman dan terus-terusan mengonsumsi konten atau informasi sesuai dengan minatnya tanpa peduli dengan perspektif lain. Dampaknya, lahirlah istilah baru bernama filter bubbles.
Kata Google, filter bubbles adalah kondisi di mana algoritma membatasi pengguna hanya pada konten yang sesuai dengan preferensi, minat, dan pandangan mereka, berdasarkan aktivitas sebelumnya seperti klik, suka, dan bagikan.
Saat media sosial baru booming beberapa tahun yang lalu, filter bubbles adalah masalah serius. Ada banyak sekali pergerakan dan pemikiran dihimpun lewat algoritma ini. Akhirnya, pemikiran kelompok itu menjadi besar dan bisa mengancam eksistensi kelompok lain.
Para pakar media sosial merasa bahwa filter bubbles di medsos perlu dihindari. Manusia modern perlu mengetahui hal-hal yang variatif. Tidak terkukung pada informasi searah yang membuat manusia seakan-akan sedang menggunakan kacamata kuda.
Ketakutan akan filter bubbles ini berdasar pada kekhawatiran akan sempitnya pandangan manusia tentang kehidupan. Sekilas ini terdengar negatif. Namun, saya berpendapat bahwa filter bubbles adalah inovasi paling masuk akal di era media sosial.
Kasus Pesantren
Tujuan algoritma medsos menyaring informasi sesuai minat adalah agar para pengguna bisa menikmati semua konten dengan santai. Tanpa perlu berpikir keras dan mempersiapkan bahan untuk diskusi serta berteori atas fenomena sosial yang mereka saksikan di layar gawai.
Tidak semua orang siap dengan informasi yang berbeda. Tidak semua orang merasa bisa hidup berdampingan dengan orang lain yang punya kebiasaan dan prinsip yang berseberangan.
Contoh yang paling relevan adalah fenomena belakangan ini yang sedang viral di media sosial, yaitu perihal feodalisme di pondok pesantren. Netizen heboh, medsos rame, dan media konvensional memberitakan berita tendensius dan memancing kemarahan publik.
Disclaimer, saya bukan santri, tapi saya pernah hidup di lingkungan pesantren. Saya mengerti betul bagaimana hubungan santri dan kiai. Namun, di sisi lain, saya juga termasuk pengkritik keras feodalisme di pesantren sejak dulu.
Akan sangat masuk akal jika saya mengambil contoh pesantren Jawa Timur. Di wilayah ini, pondok pesantren tumbuh sangat subur. Para kiai dengan mudah membangun pesantren dengan sumber daya seadanya di tengah perkampungan atau bahkan hutan belantara.
Di Jatim, pesantren tidak hanya lembaga pendidikan agama. Pesantren adalah pusat peradaban. Alih-alih bupati, warga kampung lebih hormat kepada sosok kiai yang dianggap lebih powerfull dan berdampak dibandingkan pejabat daerah yang hanya datang saat butuh suara.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren dan kiai-nya memiliki peran yang besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sebuah daerah. Maka dari itu, tidak heran jika santri dan masyarakat setempat menaruh hormat yang setinggi-tingginya kepada sosok kiai di pesantren.
Cara masyarakat menghormati tokoh bisa diwujudkan dalam berbagai gaya. Tergantung di mana mereka tinggal dan seberapa luas ruang lingkup literasinya. Dalam konteks ini, pesantren lahir di pedesaan yang didominasi oleh masyarakat yang berbeda dengan wilayah perkotaan.
Warga pedesaan Jawa sejak dulu hidup dalam sistem hierarki sosial yang kuat. Masyarakat terbagi antara priyayi (bangsawan) dan kawula (rakyat jelata). Ini adalah kelas sosial yang sampai sekarang masih dipegang erat oleh masyarakat pedesaan Jawa.
Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, kelas sosial ini juga berlaku kuat. Tapi hierarki ini tertuang dalam kehidupan nyata antara raja dan rakyat jelata. Jawa Tengah dan Yogya punya keraton dengan raja yang masih eksis sampai sekarang.
Masyarakat Jateng dan Yogya biasa mengakui diri mereka sebagai kawula dan menaruh hormat yang tinggi kepada Sultan atau Sunan yang tinggal di dalam tembok keraton. Hal ini sangat berbeda dengan Jawa Timur. Jawa Timur tidak punya raja politis, sehingga strata sosial ini dipraktikkan dalam wujud lain, yaitu kiai sebagai priyayi dan santri sebagai kawula.
Fakta inilah yang belum diketahui oleh orang yang tidak pernah menyentuh dunia pesantren. Orang-orang yang menghujat dan punya cita-cita utopis tentang pemerataan modernisasi di Indonesia. Mereka tidak mengenal kiai dan tidak tahu kedudukannya di masyarakat pedesaan.
Bagi masyarakat pedesaan, kiai bukan hanya sekadar guru agama. Mereka adalah figur besar. Sosok yang bahkan secara turun temurun akan selalu mendapatkan tempat yang tinggi dalam strata sosial di masyarakat.
Kekuatan atas pengendalian massa di pedesaan itu membuat kiai juga dilirik di dunia politik. Semakin dekat seorang pejabat dengan kiai, maka semakin mudah mereka mendapatkan suara untuk keperluan pribadi mereka.
Filter Bubbles itu Penting
Ketika netizen progresif dihadapkan pada informasi yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya, mereka tidak akan siap. Orang Jawa mengenalnya dengan istilah “gumunan”. Sebuah sikap yang gampang heran dan gampang kagum terhadap sesuatu yang baru. Dalam konteks ini, mereka gumun karena heran, tapi sekaligus menggugat.
Saya yakin orang-orang “progresif” itu hanya terpapar informasi tentang pesantren di media sosial. Tanpa media sosial, informasi ini tidak akan pernah mereka ketahui, sehingga hujatan dan sentimen negatif terhadap pesantren tidak akan pernah terjadi.
Maka dari itu, saya akan selalu mendukung algoritma medsos agar diberlakukan lebih kuat lagi. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak perlu kita ketahui. Bukan bertujuan untuk membatasi informasi, tapi algoritma medsos bisa mencegah suatu kelompok yang “gumunan” agar tidak selalu tersinggung atas sesuatu yang berbeda dengan prinsip mereka.
Posting Komentar untuk " Pondok Pesantren Viral, Ternyata Algoritma Filter Bubbles di Medsos itu Inovasi yang Bijaksana"
Beri saran